Karya ini dengan baik menggambarkan kompleksitas situasi di Papua, terutama dalam konteks ketegangan politik, perlawanan, dan konflik yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan pengelolaan sumber daya alam. Substansi naskah mencakup peristiwa penting seperti tragedi Biak dan konflik terkait ekstraksi sumber daya alam, serta menjelaskan dampaknya terhadap masyarakat adat. Dalam perspektif kriminologis posmodern realis, naskah ini mencerminkan bagaimana identitas budaya, politik, dan sosial saling berinteraksi dalam membentuk realitas konflik. Pandangan posmodern menyoroti konstruksi sosial yang kompleks di balik pengertian tentang kejahatan dan ketidakadilan, serta bagaimana narasi yang berbeda berkontribusi pada polarisasi di masyarakat Papua.
Narasi ini juga menyoroti bagaimana kelompok minoritas rasial menghadapi penindasan dan marginalisasi dalam masyarakat. Dalam konteks ini, pandangan Angela Davis, seorang aktivis hak asasi manusia dan teoritisi feminis, menawarkan wawasan berharga tentang interseksionalitas, yaitu pemahaman bahwa berbagai bentuk penindasan—seperti rasisme, seksisme, dan kelas—saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Davis menekankan bahwa untuk memahami pengalaman kelompok minoritas secara komprehensif, kita perlu melihat bagaimana identitas mereka terjalin dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas (Davis, 1981).
Di sisi lain, menarik juga untuk menyoroti bagaimana tindakan kekerasan dapat dianggap normal dalam konteks politik dan sosial tertentu. Arendt (1976) berargumen bahwa kekerasan sering kali dilakukan tanpa pemikiran mendalam atau kesadaran moral, menjadi rutinitas yang diabaikan dalam struktur kekuasaan. Dalam konteks Papua, aksi kekerasan dapat dilihat sebagai contoh banalitas kekerasan, ketika individu dalam sistem tersebut mungkin tidak menyadari dampak dari tindakan mereka terhadap masyarakat yang terpinggirkan.
Kalau dilihat melalui perspektif Karl Marx, kapitalisme berperan besar dalam menciptakan dan memperdalam ketidaksetaraan sosial, yang berdampak langsung pada situasi di Papua. Marx (1867) berpendapat bahwa kapitalisme menghasilkan eksploitasi terhadap kelas pekerja dan masyarakat adat, ketika sumber daya alam dieksploitasi untuk keuntungan ekonomi elit. Inilah yang kemudian dikritik oleh kaum realis bahwa Marxisme cenderung fokus kepada sistem dan kekuasaan dibandingkan individu yang menjadi korban. Dalam konteks Papua, praktik ekstraksi sumber daya alam oleh perusahaan besar seperti Freeport menggambarkan bagaimana keuntungan dari kekayaan alam tidak berimbang dan lebih menguntungkan kelompok elit, sementara masyarakat adat tetap terpinggirkan dan mengalami kemiskinan. Konsekuensi dari kapitalisme yang eksploitatif ini memperburuk situasi sosial dan politik di Papua, menciptakan ketegangan antara negara, perusahaan, dan masyarakat lokal.
Secara teknis, struktur naskah ini baik dengan pengorganisasian yang logis. Penambahan referensi terkait yang lebih beragam akan meningkatkan reliabilitas data dan memperkuat substansi. Sebagai catatan, penulisan singkatan seperti "DOM" dan "Otsus" perlu dijelaskan pada penggunaan pertama kali untuk memastikan bahwa pembaca dapat memahami konteksnya tanpa kebingungan.